Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 menunjukkan tantangan besar bagi calon perseorangan dalam mengikuti pilkada, seperti yang terjadi di Kota Cimahi, Jawa Barat.
Pasangan calon Asep Nandang dan Caca Nurdiman tidak berhasil memenuhi syarat pencalonan karena tidak dapat mengunggah jumlah berkas dukungan yang cukup ke Silon KPU dalam batas waktu yang ditentukan.
Menurut Yosi Sundansyah, Koordinator Divisi Teknis KPU Kota Cimahi, meskipun diberikan tambahan waktu 3x24 jam, mereka hanya berhasil mengunggah sekitar 6 ribu berkas dukungan, jauh dari jumlah yang dibutuhkan.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa tanpa persiapan yang matang, calon perseorangan akan mengalami kesulitan dalam mengumpulkan dukungan minimal sesuai dengan persyaratan undang-undang. Terlebih lagi, batas waktu pengumpulan dokumen dukungan melalui Silon sangat singkat, yaitu pada 8 -- 12 Mei 2024.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa tidak semua pasangan calon perseorangan yang berminat akhirnya mendaftar. Hal ini perlu mendapatkan perhatian ke depannya, terutama dalam penyelenggaraan kontestasi pesta demokrasi.
Pilkada seharusnya memiliki banyak kandidat peserta, baik dari jalur partai politik maupun perseorangan. Dengan demikian, tidak perlu terjadi persoalan antara calon tunggal kepala daerah melawan kotak kosong.
Persoalan partisipasi calon kepala daerah perseorangan juga terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Di kabupaten ini, tidak ada calon perseorangan yang mendaftar untuk Pilkada 2024.
Hal ini merupakan fenomena baru mengingat bahwa dalam empat periode sebelumnya selalu ada kandidat perseorangan. Beberapa calon perseorangan bahkan berhasil memenangkan pemilihan dan menjadi bupati/wakil bupati.
Ketua KPU Rejang Lebong, Ujang Maman, menegaskan bahwa absennya calon independen dalam Pilkada 2024 menunjukkan adanya perubahan dalam preferensi politik lokal.
"Setelah empat periode diikuti dan dimenangi oleh pasangan calon dari jalur perseorangan, kali ini tidak ada satu pun calon independen yang mendaftar," ujar beliau.
Kurniawan Eka Saputra, seorang peneliti dari Sumatera Initiative Riset dan Konsulting Bengkulu, menyoroti fenomena tersebut.
Dalam dua dekade terakhir, ia mencatat bahwa pasangan calon dari jalur perseorangan selalu berhasil memenangkan kontestasi dengan mengalahkan pasangan calon yang diusung oleh partai politik di Rejang Lebong.
Namun, pada Pilkada 2024 terjadi pergeseran signifikan dalam preferensi politik lokal.
Kemungkinan lain yang bisa menjadi alasan adalah adanya perubahan regulasi atau kebijakan terkait jalur perseorangan dalam Pilkada 2024. Mungkin ada pertimbangan bahwa jalur perseorangan tidak efektif atau tidak efisien dalam mencapai tujuan demokrasi yang diinginkan. Selain itu, mungkin juga terdapat kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan atau manipulasi dalam jalur perseorangan.
Namun, tanpa informasi yang lebih jelas, sulit untuk menentukan dengan pasti mengapa jalur perseorangan tidak lagi menjadi alternatif pilihan bagi figur paslon potensial. Diperlukan analisis yang lebih mendalam dan data yang akurat untuk memahami fenomena ini secara lebih baik.
Selain itu, ada fakta bahwa bupati/wakil bupati petahana Rejang Lebong masih mengikuti kontestasi Pilkada Rejang Lebong tanpa menggunakan jalur perseorangan. Padahal, pada pilkada sebelumnya mereka berhasil menjadi kepala daerah melalui jalur nonparpol.
Hal ini menunjukkan bahwa memilih jalur perseorangan atau melalui partai politik hanyalah 'pilihan logis rasional' bagi calon dengan pertimbangan tertentu. Dalam hal ini, jalur partai politik mungkin lebih sederhana secara administratif karena tidak membutuhkan dukungan konstituen yang banyak pada awalnya.
Di Rejang Lebong, untuk maju melalui jalur perseorangan, dibutuhkan minimal 20.840 dukungan KTP-el yang tersebar di 50 persen dari 15 kecamatan di Rejang Lebong.
Selain itu, perbedaan waktu antara Pilpres-Pileg 2024 dengan Pilkada 2024 relatif singkat. Hal ini membuat persiapan peserta pilkada menjadi lebih padat karena mereka baru saja bersaing dalam pemilu jenis lain.
Dengan demikian, parpol cenderung mendekati figur-figur potensial meskipun mereka adalah representasi dari petahana jalur independen, sementara para pimpinan parpol, yang biasanya ikut serta dalam pilkada, memilih "jalur aman" di parlemen lokal dengan menjadi legislator.
Para elit parpol enggan melepaskan jabatan legislator mereka karena untuk maju dalam pilkada, mereka harus mundur dari posisi anggota DPRD.
"Konsekuensi dari kekacauan pileg, pilpres, dan pilkada adalah bahwa para legislator (aktivis parpol) harus 'berperang habis-habisan' terlebih dahulu dan kemudian harus 'berperang' lagi dalam pilkada yang tahapannya tumpang tindih. Hal ini tentu memerlukan energi dan 'logistik' yang kuat," ujarnya.
Keempat, para calon kepala daerah cenderung memilih risiko terkecil dalam bersaing pada pilkada.
Selama ini, kelolosan atau ketidaklolosan syarat dukungan dari jalur perseorangan membutuhkan perhatian dan persetujuan dari pihak tertentu. Oleh karena itu, sangat berisiko secara politis jika tetap menggunakan jalur perseorangan tanpa memiliki basis massa dukungan yang faktual.
Titi Anggraini, seorang pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), setuju bahwa tantangan bagi calon perseorangan sangat berat, dengan beberapa faktor penyebab rendahnya partisipasi calon independen.
Pelaksanaan pilkada yang bersamaan dengan tahapan pemilu pada tahun yang sama tidaklah ideal. Ke depan, perlu diatur dengan baik agar dua kontestasi besar tidak diadakan dalam jangka waktu yang terlalu singkat.
Hal ini dapat menghabiskan tenaga, waktu, pikiran, dan logistik dari penyelenggara dan peserta kontestasi demokrasi. Diperlukan waktu pemulihan yang cukup sebelum bersaing dari pemilu legislatif atau pilpres ke pilkada.
Titi menekankan bahwa persyaratan yang berat dan waktu yang sempit menjadi hambatan bagi calon perseorangan yang ingin ikut serta dalam Pilkada 2024.
Mengumpulkan dukungan 6,5 hingga 10 persen dari jumlah pemilih pemilu terakhir serta verifikasi syarat dukungan yang dilakukan secara sensus membuat jalur independen semakin sulit ditempuh.
Untuk itu, ia menyarankan agar persyaratan yang lebih ringan dan proporsional serta memberikan waktu yang cukup bagi calon jalur perseorangan untuk dapat bersaing dalam pilkada.
Terkait dengan waktu yang sempit, ia menyoroti salah satunya adalah durasi pengumpulan dukungan dan pengunggahan dokumen dukungan ke Silon KPU.
Dengan menerapkan solusi-solusi tersebut, diharapkan calon independen akan lebih mudah berpartisipasi dalam pilkada untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat dan memperkuat demokrasi lokal.
Sementara itu, Siti Zuhro, seorang peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan perlunya upaya untuk memperlonggar pencalonan kepala daerah independen agar partisipasinya di masa depan dapat meningkat.
Partisipasi yang tinggi dari calon kepala daerah independen tentu akan memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Pilihan kepala daerah yang beragam dapat mendorong partisipasi politik dan memperkuat demokrasi lokal, terutama di daerah-daerah yang sering menghadapi kendala dalam mencalonkan lebih dari satu kandidat kepala daerah.
Terkait persyaratan untuk calon kepala daerah jalur independen, Siti Zuhro menekankan pentingnya membuat syarat yang tidak terlalu mudah namun juga tidak terlalu sulit, agar memastikan adanya variasi dalam calon kepala daerah yang akan datang dan menghindari kemungkinan adanya calon tunggal.
Hanya dengan syarat yang proporsional, calon kepala daerah independen belum tentu banyak yang bersedia mendaftar, terlebih lagi jika persyaratan tersebut semakin sulit.